
Perjalanan Panjang Menghadapi Kista Gigi
Karya: Bintang Afsheen Alysya
Pada hari Sabtu, bulan September 2023, aku dan dua adikku Langit dan Mentari, pergi ke Rumah Sakit Grha Bunda untuk pemeriksaan gigi rutin. Sesampainya di sana, Mama langsung mendaftar ulang, kemudian kami diarahkan ke nurse station untuk mengukur berat dan tinggi badan. Setelah itu, kami mendapat nomor antrian dan menunggu di ruang tunggu. Sambil menunggu giliran, aku dan adik-adikku bermain bersama. Di dekat ruang tunggu ada kolam berisi ikan-ikan cantik. Kami memberi mereka makan, dan mereka langsung berebut makanan seperti sudah lama tidak makan. Aku senang melihat mereka, tapi perutku ikut keroncongan. Maka aku membeli dimsum dari kantin rumah sakit dan menikmatinya sambil duduk santai. Saat aku sedang menikmati gigitan terakhir, perawat memanggil: “Anak Bintang, Langit, dan Mentari”. Aku segera menghabiskan sisa dimsumku, dan mengajak adik-adikku masuk ke ruang periksa bersama Mama.
Kami disambut oleh Drg. Azrra Mardhika Nawawi, dokter gigi anak yang cantik dan ramah, dan selalu membuat kami nyaman. Beliau memeriksa gigi kami dengan lembut sambil memutarkan film Toy Story di layar TV. Suasananya menyenangkan dan membuatku lupa sedang diperiksa. Aku sama sekali tidak merasa takut atau sakit karena cara beliau memeriksa sangat lembut sambil terus mengajak kami mengobrol. Setelah pemeriksaan selesai, aku dan adik-adikku mendapat hadiah mainan. Di sisi lain, dokter berbicara dengan Mama. Dari percakapan itu, aku mendengar bahwa gigi permanen sebelah kiriku belum tumbuh, padahal usiaku hampir 10 tahun. Dokter menyarankan untuk melakukan foto rontgen. Setelah menyelesaikan administrasi, kami langsung ke laboratorium Kimia Farma untuk rontgen gigi. Setelah menunggu sekitar satu jam, hasil rontgen keluar, dan kami kembali ke rumah, serta menunggu jadwal konsultasi lanjutan.
Hari-hari berikutnya, aku kembali bersekolah sambil menanti hari Sabtu. Hari itu, kami kembali ke RS Grha Bunda, Drg. Azrra menjelaskan bahwa hasil rontgen menunjukkan adanya benjolan di bawah akar gigi taring sebelah kiri, yang menyebabkan gigi permanen ku tidak tumbuh. Mama diminta berkonsultasi ke dokter bedah mulut. Aku mulai merasa cemas mendengar kata “operasi”. Mama lalu mencari dokter bedah mulut di Bandung. Konsultasi pertama dilakukan dengan Drg. Tya di RS Edelweiss. Beliau menyebut benjolan itu sebagai kista gigi dan perlu diangkat melalui operasi. Aku menangis karena takut sakit dan takut kehilangan gigi. Aku membayangkan teman-teman mengejekku dengan panggilan “Bintang si anak ompong”.
Mama langsung memelukku erat “Everything is okay,” katanya lembut, “Kita cari solusi terbaik buat Kakak ya”. Kata-kata Mama membuatku sedikit lebih tenang, meski rasa takut tetap ada. Aku kemudian menjalani cek darah dan CT scan. Saat jarum suntik menembus kulitku, aku kembali menangis. Rasanya sangat sakit, lebih sakit dari digigit serangga. Tapi Mama selalu di sampingku, memeluk dan mengelus punggungku. Aku merasa lebih kuat karenanya.
Kami lalu menemui dokter kedua, Drg. Abell di Buah Batu, yang dulu pernah mengoperasi gigi bungsu Mama. Ia pun menyatakan bahwa operasi tetap harus dilakukan. Aku mulai lelah. Sepertinya semua dokter berkata sama. Perlahan aku mulai belajar menerima kenyataan. Mama belum menyerah dan mengajakku berkonsultasi ke dokter ketiga, Drg. Lucky di RS Grha Bunda. Beliau sangat bijaksana dan memberi banyak nasihat. Sepertinya beliau seumuran dengan Datuk ku yang ada di Bengkulu. Salah satu kalimatnya yang tak pernah kulupakan adalah, ”Allah memberikan ujian pasti ada hikmahnya, kita harus ikhlas dan terus berusaha”. Meskipun hasilnya sama, yaitu harus operasi, namun aku merasa lebih tenang setelah bertemu beliau. Kemudian Mama mengantarkanku kembali ke sekolah, karena aku tidak ingin ketinggalan pelajaran.
Karena belum merasa yakin, Mama kembali menghubungi Drg. Azrra. Beliau merekomendasikan temannya, Drg. Farah di RSUD Bandung Kiwari. Awalnya aku menolak karena sudah sangat lelah bolak balik ke dokter. Tapi Mama meyakinkanku dengan lembut, “Coba satu kali lagi, ya. Kalau memang ini yang terbaik, kita jalanin bareng-bareng”. Aku pun setuju. Drg. Farah ternyata sangat baik dan ramah serta membuat kami nyaman. Setelah berdiskusi, Mama dan Papa sepakat bahwa operasi akan dilakukan disana, dijadwalkan akhir November 2023.
Menjelang operasi, aku harus periksa ke dokter anak, dokter anestesi, dan melakukan foto thorax. Aku juga diminta berpuasa sehari sebelum operasi. Di hari operasi, aku didaftarkan rawat inap. Perawat datang membawa kursi roda, dan aku diantar ke kamar dengan Mama dan Papa. Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengerjakan tugas sekolah, kebetulan waktu itu ada tugas kelompok membuat slide presentasi mengenai makanan khas daerah Cirebon, dan kelompokku memilih tentang “Tahu Gejrot”. Aku mulai mencari informasi tentang tahu gejrot di laptop. Tak lama kemudian, perawat memintaku bersiap ke ruang operasi. Jantungku pun berdebar. Aku berganti baju, memeluk Mama dan Papa erat-erat. Aku mulai menangis karena harus masuk sendiri ke ruang operasi.
Di dalam ruang operasi, para dokter dan perawat mencoba mengalihkan pikiranku dengan bercerita, lalu memasukkan obat bius. Aku tidak sadar proses pengangkatan kista yang berlangsung selama dua jam. Ketika terbangun, aku berada di ruang pemulihan yang dingin dan sepi. Masih setengah sadar, aku kembali tertidur. Ketika bangun lagi, aku sudah berada di kamar inap bersama Mama dan Papa yang tersenyum lega. Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Hanya satu gigi susu dan satu gigi permanen yang diangkat. Meski sedih, aku bersyukur karena prosesnya tak seberat yang aku bayangkan. Saat itu aku merasa lapar, tapi aku belum diizinkan makan, aku hanya boleh minum air putih sedikit. Keesokan harinya, Drg. Farah datang memeriksa kondisiku. Karena tidak ada infeksi, aku diperbolehkan pulang. Papa segera mengurus administrasi dan Mama mengemasi barang-barang. Aku sangat senang karena akan segera bertemu adik-adikku, Langit dan Mentari.
Pengalaman ini memberiku banyak pelajaran berharga, aku belajar banyak hal, diantaranya tentang kesabaran, keberanian, dan kasih sayang keluarga. Aku jadi tahu bahwa setiap ujian pasti ada jalan keluarnya. Meskipun satu gigiku tidak akan tumbuh lagi, aku tidak malu untuk tersenyum. Aku tetap semangat mengejar cita-citaku menjadi seorang dokter. Karena aku tahu: satu rintangan tidak akan menghalangiku untuk terus melangkah.

